Kamis, 31 Januari 2013

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN JANGKA PANJANG (Sebuah Kebutuhan Masyarakat Aceh dan Dunia)

Seiring dengan menurunnya intensitas kekerasan di Indonesia, setidaknya memberikan secercah harapan bagi terciptanya Indonesia yang lebih damai dan kondusif. Walaupun  sesekali meletup senjata, meledak geranat,  namun setidaknya sampai hari ini sudah semakin kondusif dan aman terkendali. Hampir seluruh kasus kekerasan hari ini dapat diungkap dan pelakunya telah diadili.

Permasalahannya sekarang  adalah bagaimana menjawab masalah dan tantangan atas pembangunan perdamaian jangka panjang yang berakar dalam kehidupan dan yang dapat menyahuti kebutuhan masyarakat sendiri. Yaitu bagaimana individu-individu dan institusi-institusi dalam masyarakat mampu mendorong keadilan sosial, kepercayaan, empati, kerjasama, dan dialog sosial di tengah masyarakat sendiri sehingga tercipta masyarakat yang lebih damai dan madani.

 Secara teori, ada beberapa tahapan yang dapat dilalui, diantaranya :
1). Peace making (conflict resolution) yaitu  penyelesaian pada masalah (kekerasan, pertikaian dan dengan segera menghentikannya.
2).  Peace keeping (conflict management) yaitu Menjaga atau merawat perdamaian.
3). Peace building (conflict transformation) yaitu  perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan, kemiskinan, dsb.

 Mengenai pengembangan peace-building di Indonesia yang holistik setidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan:
1). Sosialization of Sustainable Peace (Sosialisasi perdamaian yang berkelanjutan).
Ikrar perdamaian yang telah tertulis dalam MoU Helsinki hendaknya terus dikampayekan kepada seluruh elemen masyarakat tanpa henti dan harus melibatkan pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak dengan konflik Aceh. Ada 4 (empat) agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, Masyarakat, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.  Konflik horisontal dan vertikal saling memberikan amunisi. Ketika konflik horisontal terjadi, konflik vertikal memberikan api. Ketika konflik horisontal terjadi, elit-elit memanfaatkannya, demikian seterusnya. Ini menjadi modal dasar sebuah tatanan nilai perilaku dalam skala kecil di tingkat paling bawah yaitu diri dan keluarga. Begitu pula di dalam lingkup masyarakat, serat-serat nilai perdamaian juga harus mulai ditanamkan sejak dini dengan menghargai segala bentuk perbedaan yang prural dan menanamkan nilai-nilai keadilan. Hal ini bisa dikuatkan oleh adanya "kearifan lokal (local wisdom)" yang ada di setiap komunitas sebagai bingkai nilai tatanan nilai suatu msyarakat. Sebagai pelengkapnya adalah kontribusi lembaga pendidikan formal dan non formal yang mengajarkan pengetahuan tentang perdamaian, bagaimana konflik bisa muncul, bagaimana mengatasinya dan bagaimana menjaga perdamaian yang telah didapatkan. Semua ini dapat menjadi solusi  terbesar bagi peningkatan pemahaman atas perdamaian di seluruh aspek kehidupan.

 Penguatan kampanye "Damai Aceh-Ku"  ini harus terus dilakukan kepada seluruh stakeholder dan agen perdamaian yang ada. Seperti masyarakat, tokoh agama dan masyarakat, generasi muda, aktifis LSM, dan pemerintah serta pihak-pihak yang teribat langsung dalam konflik. Ketika seluruh komponen ini bersatu pada "satu kata" menabuh genderang perang dan meneriakkan Damai untuk seluruh bidang kehidupan maka diyakini betul, berbagai potensi konflik yang muncul akan dapat diatasi dengan secepatnya.

 2. Community empowerment (Penguatan komunitas).
 Kegiatan pemberdayaan dapat mengacu pada banyak kegiatan di antaranya meningkatkan kesadaran akan adanya kekuatan-kekuatan sosial yang menekan orang lain dan juga pada aksi-aksi untuk mengubah pola kekuasaan di masyarakat. Penguatan kapasitas masyarakat di segala bidang harus menjadi prioritas utama untuk menghindari munculnya benih-benih perselisihan, kesenjangan dan ketidakadilan. Misalnya penguatan komunitas sadar hukum, penguatan komunitas sadar politik, penguatan komunitas sadar pluralisme, penguatan komunitas sadar gender, penguatan komunitas kawasan pesisir, penguatan komunitas daerah tertinggal, penguatan ekonomi masyarakat miskin, advokasi hak-hak sipil (HAM) dan segudang aktivitas pengembangan komunitas lainnya yang bisa dijalankan.
Sampai hari ini, sangat terlihat jelas bagaimana pemerintah tidak terlalu serius dalam mengembangkan kekuatan masyarakat dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hukum. Ini bisa dibuktikan dari minimnya anggaran untuk pos tersebut dan tidak adanya lembaga pemerintah yang menjadi betul-betul terfokus  melalui program-program yang dijalankannya. Setidaknya pengembangan komunitas masyarakat ini hanya menjadi pelengkap semata. Di bidang penguatan HAM dan hukum misalnya sangat sedikit sekali peran pemerintah dalam mendorong hal diatas, hanya kalangan LSM yang betul-betul berjuang di area ini, itupun dananya tidak disupport dari pemerintah sendiri. Seharusnya pemerintah dan LSM serta masyarakat bersatu, bahu-membahu untuk hal maha penting ini.

 Kedua jalur pendekatan diatas, bertujuan untuk menjadikan masyarakat dan pemerintah lebih sadar dan memiliki bargaining possition yang tepat dalam interaksi sosial dan mendapatkan kesejahteraan dalam masyarakat yang lebih harmonis serta terhindar dari kesenjangan dan ketidakadilan.

 Semoga program Pemerintah dalam Pelaksanaan Kampanye Akbar "Damai Aceh-Ku"  dapat diperankan dengan baik oleh Agency, dan  menjadi sebuah kekuatan yang maha dahsyat untuk menciptakan Damai dalam kontek yang seluas-luasnya.

Wassalam,
NAZART
Penulis bekerja sebagai CEO "Leungong Advertising Coy"

Ucapan Terimakasih kami kepada ;
1. Ketua PPPI Pusat, beserta staf panitia Pelaksana
2. Ketua PPPI Aceh dan Unsyiah (sebagai Sponsor)
4. Para pemateri CWMC ; Arief Budiman, Janoe Arijanto dan Heri Ardin,
5. Hijrah, B'Meldie, Resha, Maulana, Putri dan Rizki atas atensinya dalam membangun kerjasama selama CWMC.

1 komentar: