Beberapa orang yang tertangkap kamera mau ikutan mendukung program Ayo Ke Aceh Lagi..mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, lokal maupun internasional :)
Jumat, 01 Februari 2013
Kamis, 31 Januari 2013
PEMBANGUNAN PERDAMAIAN JANGKA PANJANG (Sebuah Kebutuhan Masyarakat Aceh dan Dunia)
Seiring dengan menurunnya
intensitas kekerasan di Indonesia, setidaknya memberikan secercah harapan bagi
terciptanya Indonesia yang lebih damai dan kondusif. Walaupun sesekali meletup senjata, meledak geranat, namun setidaknya sampai hari ini sudah semakin
kondusif dan aman terkendali. Hampir seluruh kasus kekerasan hari ini dapat
diungkap dan pelakunya telah diadili.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana menjawab masalah dan
tantangan atas pembangunan perdamaian jangka panjang yang berakar dalam
kehidupan dan yang dapat menyahuti kebutuhan masyarakat sendiri. Yaitu
bagaimana individu-individu dan institusi-institusi dalam masyarakat mampu
mendorong keadilan sosial, kepercayaan, empati, kerjasama, dan dialog sosial di
tengah masyarakat sendiri sehingga tercipta masyarakat yang lebih damai dan
madani.
Secara teori, ada beberapa tahapan yang dapat
dilalui, diantaranya :
1). Peace making (conflict resolution) yaitu penyelesaian pada masalah (kekerasan,
pertikaian dan dengan segera menghentikannya.
2). Peace keeping (conflict management) yaitu Menjaga atau merawat perdamaian.
3). Peace building (conflict transformation) yaitu perubahan struktur dalam masyarakat yang
menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan, kemiskinan, dsb.
Mengenai pengembangan peace-building di
Indonesia yang holistik setidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan:
1). Sosialization of Sustainable Peace (Sosialisasi
perdamaian yang berkelanjutan).
Ikrar perdamaian yang telah
tertulis dalam MoU Helsinki hendaknya terus dikampayekan kepada seluruh elemen
masyarakat tanpa henti dan harus melibatkan pihak-pihak yang terkait langsung
maupun tidak dengan konflik Aceh. Ada 4 (empat) agen sosialisasi yang utama,
yaitu keluarga, Masyarakat, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah. Konflik horisontal dan vertikal saling
memberikan amunisi. Ketika konflik horisontal terjadi, konflik vertikal
memberikan api. Ketika konflik horisontal terjadi, elit-elit memanfaatkannya,
demikian seterusnya. Ini menjadi modal dasar sebuah tatanan nilai perilaku
dalam skala kecil di tingkat paling bawah yaitu diri dan keluarga. Begitu pula
di dalam lingkup masyarakat, serat-serat nilai perdamaian juga harus mulai
ditanamkan sejak dini dengan menghargai segala bentuk perbedaan yang prural dan
menanamkan nilai-nilai keadilan. Hal ini bisa dikuatkan oleh adanya
"kearifan lokal (local wisdom)" yang ada di setiap komunitas sebagai
bingkai nilai tatanan nilai suatu msyarakat. Sebagai pelengkapnya adalah
kontribusi lembaga pendidikan formal dan non formal yang mengajarkan
pengetahuan tentang perdamaian, bagaimana konflik bisa muncul, bagaimana
mengatasinya dan bagaimana menjaga perdamaian yang telah didapatkan. Semua ini
dapat menjadi solusi terbesar bagi
peningkatan pemahaman atas perdamaian di seluruh aspek kehidupan.
Penguatan kampanye "Damai Aceh-Ku" ini harus terus dilakukan kepada seluruh
stakeholder dan agen perdamaian yang ada. Seperti masyarakat, tokoh agama dan
masyarakat, generasi muda, aktifis LSM, dan pemerintah serta pihak-pihak yang
teribat langsung dalam konflik. Ketika seluruh komponen ini bersatu pada
"satu kata" menabuh genderang perang dan meneriakkan Damai untuk
seluruh bidang kehidupan maka diyakini betul, berbagai potensi konflik yang muncul
akan dapat diatasi dengan secepatnya.
2. Community
empowerment (Penguatan komunitas).
Kegiatan pemberdayaan dapat mengacu pada
banyak kegiatan di antaranya meningkatkan kesadaran akan adanya
kekuatan-kekuatan sosial yang menekan orang lain dan juga pada aksi-aksi untuk
mengubah pola kekuasaan di masyarakat. Penguatan kapasitas masyarakat di segala
bidang harus menjadi prioritas utama untuk menghindari munculnya benih-benih
perselisihan, kesenjangan dan ketidakadilan. Misalnya penguatan komunitas sadar
hukum, penguatan komunitas sadar politik, penguatan komunitas sadar pluralisme,
penguatan komunitas sadar gender, penguatan komunitas kawasan pesisir,
penguatan komunitas daerah tertinggal, penguatan ekonomi masyarakat miskin,
advokasi hak-hak sipil (HAM) dan segudang aktivitas pengembangan komunitas
lainnya yang bisa dijalankan.
Sampai hari ini, sangat
terlihat jelas bagaimana pemerintah tidak terlalu serius dalam mengembangkan
kekuatan masyarakat dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hukum. Ini
bisa dibuktikan dari minimnya anggaran untuk pos tersebut dan tidak adanya
lembaga pemerintah yang menjadi betul-betul terfokus melalui program-program yang dijalankannya.
Setidaknya pengembangan komunitas masyarakat ini hanya menjadi pelengkap
semata. Di bidang penguatan HAM dan hukum misalnya sangat sedikit sekali peran
pemerintah dalam mendorong hal diatas, hanya kalangan LSM yang betul-betul
berjuang di area ini, itupun dananya tidak disupport dari pemerintah sendiri.
Seharusnya pemerintah dan LSM serta masyarakat bersatu, bahu-membahu untuk hal
maha penting ini.
Kedua jalur pendekatan diatas, bertujuan untuk
menjadikan masyarakat dan pemerintah lebih sadar dan memiliki bargaining
possition yang tepat dalam interaksi sosial dan mendapatkan kesejahteraan dalam
masyarakat yang lebih harmonis serta terhindar dari kesenjangan dan
ketidakadilan.
Semoga program Pemerintah dalam Pelaksanaan
Kampanye Akbar "Damai Aceh-Ku"
dapat diperankan dengan baik oleh
Agency, dan menjadi sebuah kekuatan yang
maha dahsyat untuk menciptakan Damai dalam
kontek yang seluas-luasnya.
Wassalam,
Ucapan Terimakasih kami kepada
;
1. Ketua PPPI Pusat, beserta staf
panitia Pelaksana
2. Ketua PPPI Aceh dan
Unsyiah (sebagai Sponsor)
4. Para pemateri CWMC ; Arief
Budiman, Janoe Arijanto dan Heri Ardin,
5. Hijrah, B'Meldie, Resha,
Maulana, Putri dan Rizki atas atensinya dalam membangun kerjasama selama CWMC.
Langganan:
Postingan (Atom)